Tempo hari, kelompok aku membuat paper mengenai Kesenjangan Sosial dan Disintegrasi Nasional yang mengangkat kasus, lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan. Seperti yang kita semua tahu, kalau Indonesia adalah negara kepulauan? Indonesia berbatasan langsung dengan negara Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Sedangkan wilayah maritim (keluatan) Indonesia berbatasan dengan 10 negara: India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan PNG. Kawasan-kawasan perbatasan maritim umumnya berupa pulau-pulau terluar yang berjumlah 92 pulau, yang beberapa di antaranya adalah pulau-pulau kecil yang hingga kini masih perlu ditata dan dikelola lebih intensif, karena ada kecenderungan mempunyai masalah dengan negara tetangga. Kenapa bermasalah dengan negara tetangga?
Naah.. diisini aku ingin ngebahas kasus ini menurut pemikiranku. Dimana lepasnya Sipadan dan Ligitan ini (harusnya) dapat memberi sebuah pelajaran untuk Indonesia. Bukan pelajaran dimana bahwa kita seharusnya masih dapat mempertahankan kedua pulau tersebut. Tetapi pelajaran, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kondisi pulau-pulau terluar Indonesia.
Kesenjangan sosial yang terjadi di kedua pulau itu mungkin akan lebih mudah bila dilihat dari aspek ekonomi. Pada saat status quo kedua pulau tersebut (1969) diberlakukan, Malaysia malah terus memperkukuh kedaulatannya di pulau tersebut dengan membangun sarana dan prasarana di pulau tersebut. Malah mereka sudah memasukkan pulau Sipadan ke dalam peta pariwisata mereka. Wow, sebenarnya yang salah itu Malaysia karena ‘nyolong start’ atau Indonesia karena intelnya tidak bekerja dengan baik?
Kehidupan masyarakat tentu jadi bergantung pada Malaysia. Mata uang yang beredar disana pun, Ringgit. Sebuah kondisi yang cukup menyedihkan di negara Indonesia yang bermata uang Rupiah. Ya emang sih, keduanya bermulaan dengan huruf R ! but stilll... hehehehe..
Kenapa si Sipadan dan Ligitan ini malah diberikan ke Malaysia? Sebenarnya dari resensi yang aku baca, Indonesia mempunyai kans yang cukup besar untuk dapat memenangkan kedua pulau ini. Tapi Mahkamah Internasional melihat prinsip lain, yaitu Ecologycal preverence (perlindungan ekologi), Continuous Presence (kehadiran terus menerus di wilayah tersebut), Effective Occupation, dan Maintenance.
Dari prinsip ini, apakah Indonesia sudah melakukan ini semua? Tidak ! tapi Malaysia yang melakukannya. Gak heran kan kenapa dua pulau itu akhirnya jatuh ke tangan Malaysia? Tapi,kalo dipikir-pikir lagi, kalo waktu itu Indonesia yang menang pun, apakah kehidupan di kedua pulau tsb (yang selama ini ditunjang Malaysia) akan berjalan dengan baik? -Mengingat pengelolaan pemerintah yang dirasa kurang-. Toh kita bakal ninggalin mereka lagi. Gak ada salahnya lah tuh pulau jatuh ke mereka.. Apalah 2 pulau diantara puluhan ribu pulau lainnya di Indonesia? Tapiiiiii.. yaaa gengsinya itu loh. Gengsi Indonesia di mata majelis internasional yang dipertarungkan!
Dari pembahasan si dosennya sih cukup menggugah dan membuat aku berpikir, pengelolaan negara ini sebenernya seperti apa sih? Kok kayanya negara ini tidak bisa dikelola dengan baik sih? Kenapa? Layaknya sebuah perusahaan, bila dikelola dengan sistim managemen yang baik maka perusahaannya akan maju. Bila tidak, malah akan terjadi sebaliknya. Apa perlu negara kita dipimpin bukan oleh politisi melainkan seorang manager?
Latar belakang ini juga membawa pemikiran lain kalau etos bekerja orang Indonesia (yang menurut aku) sangat jelek. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya tindak korupsi di dalam jajaran pemerintahan. Emang sih sekarang orang-orang yang korup miliaran rupiah mulai diproses.. tapi kalau yang korupsi ratusan ribu perminggu dan masih tetap dilakukan? Apa itu gak disebut korup juga?
Mungkin etos kerja seperti itu tidak akan terjadi bila didukung dengan kualitas SDM yang baik. Coba kita ambil contoh, Malaysia dulu memboyong guru dari Indonesia untuk ngajar mereka. Sekarang malah kita yang mengundang guru dari Malaysia. Apa itu tidak disebut dengan kemunduran? Negara lain bila kita lihat, kok bisa maju? Dan kita kayanya tetep gini-gini aja? Masa sih kita gak mikir? Engga juga kan?
Kalau aku liat lebih jauh lagi ke sejarah Indonesia. Apakah mungkin kepribadian orang Indonesia seperti ini karena kita dulu dijajah Belanda? Negara-negara Asia yang dijajah Inggris nampaknya sekarang mulai menunjukkan ‘taringnya’. Sebut saja, Malaysia, Hong Kong dlsbnya. Selain karena kita dulu dijajahnya emang kelamaan, waktu itu Belanda menempatkan pribumi sebagai kasta terendah setelah orang Belanda dan pendatang yang justru kaum minoritas. Inget kan orang-orang pribumi dulu gak bisa seleluasa sekarang untuk bisa masuk Sekolah Rakyat (sekarang SD) ? SDM kita memang tidak terbentuk secara matang untuk dapat memajukan negaranya karena waktu itu Belanda gak mau kita malah jadi pintar dan mengusir mereka dari Indonesia. Tapi ‘tekanan’ Belanda itu malah ngebuat moral dan etos orang Indonesia jadi sekarang ini. Apalagi setelah kita berhasil ngusir Belanda ama Jepang, kita malah jadi kaya orang linglung -mau diapain ni negara?- karena bodoh. Untunglah masih ada Boedi Oetomo yang isinya orang-orang pinter, maka negara ini bisa terselamatkan dan bisa berdiri sampe sekarang ini.
Kembali ke kasus Sipadan dan Ligitan, seharusnya pemerintah lebih bisa mengelola daerah-daerah tertinggal dan tidak hanya berpikir ‘how to safe my ass.‘ karena sebenarnya apa yang kita lakukan sekarang, itu akan menunjukkan siapa diri kita, cikal bakal kita, dan juga generasi mendatang.
No comments:
Post a Comment